Makalah PEMBAHASAN KORUPSI BERDASARKAN PANCASILA DI INDONESIA
Source : khlorofil.unud.ac.id |
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Korupsi sudah menjadi fenomena yang banyak ditemui dalam permasalahan
negeri ini. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai pancasila. Masalah korupsi
ini sangat berbahaya karena dapat mengikis moral bangsa yang telah terbentuk
sejak lama dapat dilihat dari segi kehidupan sosial yaitu terkikisnya budaya
malu.
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki masalah besar yaitu
korupsi. Korupsi di Indonesia sudah yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi juga telah mengakibatkan
kerugian keuangan negara yang sangat besar baik dari segi ekonomi,sosial, dan
budaya. Pemerintah tidak pernah melihat bagaimana nasib-nasib rakyatnya. Khususnya
para wakil rakyat yang seharusnya mensejahterakan dan memajukan negara akan
tetapi para wakil rakyat hanya bisa memeras, merampas, mengambil, apa yang
seharusnya menjadi hak rakyat. Tapi para petinggi Negara tidak pernah
memperdulikan rakyatnya, yang mereka lakukan hanya bisa menghambur-hamburkan
duit rakyat.
Itulah cerminan pemerintahan kita yang sebenarnya banyak merugikan
Negara dan rakyatnya. Sulit untuk memberantas korupsi. Negara ini penuh dengan
orang-orang yang serakah akan kekayaan dan kekuasaan. Padahal di Indonesia ini
masih banyak orang yang sedang kesusahan, banyak rakyat yang miskin, banyak yang tidak makan,
banyak anak yang putus sekolah, tapi pemerintah seakan menutup mata dan lebih
mementingkan dirinya sendiri.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian
Korupsi ?
2. Mengapa terjadi
tindakan Korupsi dalam faktor internal dan eksternal?
3. Bagaimana cara
memberantas Korupsi di Indonesia?
4. Bagaimana
evaluasi tindakan Korupsi di Indonesia (2015-2019) ?
5. Implementasi
tindakan Korupsi dalam Pancasila?
6. Apa tahapan
kerja KPK?
7. Pembahasan
revisi UU mengenai Korupsi ?
1.3
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui lebih dalam apa pengertian
dari korupsi itu sendiri.
2. Untuk mengetahui
dampak yang ditimbulkan dari korupsi terhadap nilai-nilai pancasila.
3. Untuk mengetahui
bagaimana upaya ataupun langkah-langkah dalam memberantas korupsi.
4. Untuk mengetahui
UU tentang Korupsi.
Source : sathora.or.id |
BAB II
ISI
2.1
Pengertian Korupsi
-
Menurut KKBI, Korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
-
Menurut Undang Undang :
a. UU No 31 Tahun
1999
Pengertian korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap
orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
b. UU No 20 Tahun
2001
Pengertian Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah
tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian Negara
c. UU No 24 Tahun
1960
Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah
perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
Dapat disimpulkan bahwa Korupsi adalah tindakan
seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi
untuk mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang merugikan kepentingan
publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
2.2
Faktor Penyebab Korupsi
Penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.
1) Faktor internal
merupakan faktor penyebab korupsi yang terlahir dari dalam diri sendiri. Faktor
internal terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
·
Aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kurangnya
kejujuran, dan rasa malu.
·
Aspek sikap dan perilaku, misalnya gaya hidup yang
konsumtif
·
Aspek sosial, misalnya keluarga yang dapat mendorong
seseorang untuk berperilaku korupsi.
2) Faktor eksternal
merupakan faktor penyebab korupsi yang datangnya dari luar. Faktor eksternal
terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
o
Aspek ekonomi, misalnya pendapatan / gaji yang tidak
mencukupi kebutuhan
o
Aspek politis, misalnya instabilitas politik,
kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan.
o
Aspek managemen dan organisasi, misalnya ketiadaan
akuntabilitas dan transparansi.
o
Aspek hukum, misalnya buruknya wujud perundang-undangan
dan lemahnya penegakkan hukum.
o
Aspek sosial, misalnya lingkungan atau masyarakat yang
kurang mendukung perilaku anti korupsi.
2.3
Cara memberantas Korupsi di Indonesia
Pancasila merupakan sumber nilai anti korupsi. Korupsi itu terjadi
ketika ada niat dan kesempatan. Kunci terwujudnya Indonesia sebagai negara
hukum adalah menjadi nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama. Serta
peraturan perundang-undangan sebagai acuan dasar untuk seluruh masyarakat
Indonesia. Suatu pemerintah dengan pelayanan publik yang baik merupakan pemerintah yang bersih (termasuk dari
korupsi) dan berwibawa.
Pancasila berfungsi sebagai peraturan yang dipatuhi oleh seluruh rakyat
Indonesia. Peraturan disini, difungsikan untuk memberikan mengatur setiap warga
negara yang melanggar, untuk diarahkan ke jalan yang benar. Agar setiap warga
negara dapat memiliki tingkah laku yang baik.
Nilai-nilai pancasila dapat terwujud didahului dengan pengetahuan
mendasar mengenai pancasila. Banyak dari rakyat Indonesia yang hanya menghafal
pancasila, tetapi tidak mengerti maksud dasar dari pancasila itu sendiri. Oleh
karena itu pendidikan pancasila mutlak diperoleh oleh setiap rakyat Indonesia.
Sistem nilai-nilai budaya itu pancasila akan dipertahankan melalui
proses-proses pendidikan, pemasyarakatan, pembudayaan, penataran, dan penjiwaan
nilai-nilai pancasila dalam segala aspek kehidupan, tanpa kecuali selama
kesadaran diri tertanam dalam setiap lapisan masyarakat dari warga negara biasa
hingga petinggi negara senantiasa memelihara standar-standar pribadi yang
tinggi serta menjauhi perilaku immoral dan melawan hukum makan dimungkinkan
persoalan korupsi dapat diatasi.
1. Kurikulum berbasis anti korupsi
Langkah ini sangat bagus dalam rangka membangun cara
pandang dan mind set peserta didik
terhadap tindak pidana korupsi. Selain memberikan penguatan materi ajaran dalam
seperangkat kurikulum juga mendorong untuk membangkitkan kesadaran generasi
muda Indonesia dalam membentengi diri dari godaan korupsi.
Muatan kurikulum anti korupsi sepatutnya tidak hanya
menekankan pada pendekatan konstitusional dan hukum saja, tapi perlu
dikombinasikan dengan sudut pandang keilmuan. Misalnya bagaimana membedah
secara keilmuan penyebab, akibat dan kausalitas tindak kejahatan korupsi dengan
variabel lain.
Yang menjadi sasaran dari strategi ini adalah
anak-anak Indonesia, siswa, dan mahasiswa. Tidak tertutup kemungkinan juga bagi
masyarakat umum dan orang tua. Literasi anti korupsi sangat tepat sebagai cara
paling efektif dalam mengembangkan pemikiran menuju pencegahan korupsi.
2. Festival
anti korupsi
Strategi ini bertujuan untuk menggalakan sikap anti
korupsi dikalangan masyarakat. Festival melawan korupsi bisa dikemas dengan
berbagai acara yang menarik. Misalnya expo anti korupsi. Even ini bisa menjadi
ajang kreatif terutama bagi generasi millennial saat ini.
Bentuk kegiatan festival anti korupsi dapat dikemas
dalam bentuk sayembara, seperti sayembara menulis dengan tema anti korupsi
ataupun model lainnya. Tujuan utama dari kegiatan ini yaitu memasyarakatkan
masyarakat anti korupsi.
Ketiga strategi tersebut diatas harus saling
mendukung dan bersinergi satu sama lain. Sehingga membentuk satu pilar
pendidikan dan pengajaran anti korupsi yang dilakukan secara soft sebagai
langkah penyadaran bagi masyarakat umum.
Lalu kategori yang kedua dalam strategi dalam upaya
melawan bahaya korupsi adalah langkah pencegahan. Elemen ini berkesinambungan
dengan strategi pendidikan anti korupsi dalam langkah penyadaran.
Jika pada step
sebelumnya berorientasi pada pengembangan pemikiran, cara pandang, dan mind set. Maka pada tahap ini,
masyarakat atau sasaran sudah menampakkan perilaku anti korupsi sejak dini.
Jadi kita sudah dapat melihat secara nyata efek dari
kesadaran menjauhi korupsi, baik dalam kebijakan, perencanaan anggaran
pembangunan, dan sudah berani menolak ajakan untuk melakukan korupsi.
3.
Mengoptimalkan
sistem elektronik
Dengan memanfaatkan sumber
daya unggul dibidang teknologi dan informasi serta disokong oleh internet 5G.
KPK dapat mendorong pemerintah agar menggunakan sistim elektronik dalam setiap
transaksi layanan yang rawan terjadi korupsi. Misalnya lelang proyek, pengadaan
barang dan jasa, prosedur pengurusan perizinan, dan lain sebagainya.
Mewajibkan pemerintah daerah
mengkoneksikan secara terpusat dengan pemerintah nasional seluruh data
pamasukan dan penggunaan anggaran daerah melalui sebuah sistim terpadu yang
bersifat online. Sehingga pemerintah pusat dapat memantau serta mengawasi
anggaran untuk mencegah penyimpangan keuangan.
Dalam sistem penganggaran
harus ada sistem e-planning dan e-budgeting. Hal itu untuk mencegah mark up
yang biasa terjadi pada saat perencanaan anggaran dilakukan. Pencegahan korupsi
dengan pembenahan sistem secara menyeluruh bukan parsial perlu dilakukan dan
diikuti dengan semangat anti korupsi.
4.
Hukuman
penjara, ganti rugi dan penyitaan serta pemecatan
Bagi yang terdakwa yang
sudah terbukti melakukan tindak kejatahan korupsi pada pengadilan khusus
Tipikor. Mereka harus diberikan hukuman setinggi-tingginya. Dengan UU Tipikor yang
mengatur, menetapkan sanksi berat berupa hukuman penjara diatas 20 tahun.
Hukuman yang lama dan
panjang dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan keluarganya.
Sehingga akan menjadi contoh bagi yang lain. Jika telah muncul rasa takut untuk
korupsi, maka putusan hukuman penjara itu sudah efektif.
Lembaga yudikatif juga
menyiapkan hakim dan proses pengadilan yang terbuka, jujur, dan menjunjung
tinggi hukum sebagai panglima tertinggi di negara ini. Sehingga hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum ada berjalan dengan baik.
Termasuk menyiapkan hakim-hakim yang bersih dan berintegritas.
Selain hukuman penjara
diatas 20 tahun bagi pelaku korupsi tingkat menengah (ratusan juta), pengadilan
juga mengharuskan terdakwa untuk mengembalikan uang hasil korupsi tersebut
kepada negara atau pihak yang dirugikan. Ditambah dengan penyitaan aset hasil
korupsi dan bisa juga milik pribadi untuk mengembalikan kerugian pihak lain.
Selanjutnya jika mereka
pejabat negara atau ASN/PNS, maka dilakukan hukuman pemecatan secara tidak
hormat. Pengadilan harus tegas dan pimpinan atau atasan mereka wajib
merekomendasikan kepada hakim yang memutuskan untuk dicopot dari jabatan
sekaligus pemutusan hubungan kerja.
2.4
Evaluasi tindakan Korupsi di Indonesia (2015-2019)
Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Transparancy
Internasional Indonesia melakukan evaluasi kinerja KPK selama 2015 - 2019.
Kedua organisasi ini menyoroti kinerja KPK yang dipimpin Agus Rahardjo selaku
ketua, dan Laode M Syarif, Saut Situmorang, Basaria Pandjaitan dan Alexander
Marwata, masing-masing sebagai wakil ketua.
Berikut Catatan ICW dan Transparancy Internasional Indonesia terhadap
kinerja KPK tahun 2015-2019 :
1. Catatan di
Sektor Penindakan
§ KPK selama era
Agus Rahardjo, belum menerapkan asset
recovery secara maksimal. Dari 313 perkara yang ditangani hanya 15 perkara
yang dikenakan aturan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
§ KPK telah
progresif dalam pengenaan korporasi sebagai tersangka korupsi, terhitung sejak 2017
KPK telah menetapkan lima korporasi sebagai subjek pemidanaan korupsi.
§ Rata-rata
tuntutan KPK sepanjang 2016-2018 hanya menyentuh 5 tahun 7 bulan penjara, atau
masuk dalam kategori ringan.
§ Disparitas
tuntutan masih terlihat dalam tren penuntutan sepanjang era kepemimpinan Agus
Rahardjo dan kawan-kawan.
§ KPK masih minim
menuangkan pencabutan hak politik saat membacakan surat tuntutan, terhitung
dari 88 terdakwa, hanya 42 yang diminta untuk dicabut.
§ Fokus KPK tidak
pada menuntaskan penanganan perkara. Terbukti, masih ada 18 tunggakan perkara
besar yang belum dilanjutkan.
2. Catatan di
Sektor Pencegahan
v Sebagai Ketua
Timnas Stranas PK, KPK masih belum masif melakukan berbagai kegiatan
sosialisasi dan diseminasi informasi ke publik.
v Kemampuan KPK
dalam melakukan deteksi yang melibatkan strategi LKHPN dan penanganan
gratifikasi masih belum maksimal.
v Strategi
pencegahan KPK belum merespons kebutuhan publik saat ini, dan masih hanya
berfokus pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
v Mandat
koordinasi, supervisi, dan monitoring lembaga penegak hukum lain belum maksimal
dilakukan.
3. Catatan di
Sektor Alokasi Anggaran.
ü KPK belum
maksimal menyerap anggaran. Rata-rata total penyerapan anggaran KPK pada
2015-2017 hanya sebesar 85,93%. Hasil ini tentu cukup bertolakbelakang dengan
permintaan penambahan anggaran KPK tiap tahunnya. Penambahan jumlah anggaran
sebaiknya diikuti dengan memaksimalkan penyerapan anggaran tersebut untuk
program-program pencegahan dan pemberantasan korupsi.
ü Proporsi
anggaran KPK yang dialokasikan untuk kebutuhan pegawai dan operasional. Kantor
lebih besar dibanding kedeputian yang lain dengan total rata-rata penyerapan
sebesar 89,06 persen. KPK perlu fokus juga untuk memaksimalkan anggaran sektor-sektor
alokasi anggaran lainnya.
4. Catatan di
Sektor Sumber Daya Manusia
Ø KPK hingga saat
ini belum berupaya secara serius dalam meningkatkan tata kelola dan manajemen
sumber daya manusia. Hal ini dapat ditunjukkan dari belum adanya cetak biru
terkait SDM.
Ø Sumber daya
manusia merupakan kunci efektivitas pemberantasan korupsi oleh KPK.
Ketergantungan pada institusi perbantuan lain membuat KPK perlu membuat skema
besar manajemen sumber daya manusia. Perbaikan terhadap sumber daya dapat
meningkatkan efektivitas KPK, sehingga mengurangi penumpukan kasus yang
diinvestigasi.
Ø Pimpinan KPK
saat ini lambat merespon dan seakan tidak memiliki komitmen dalam menyelesaikan
kisruh dan dugaan penghambatan proses perkara yang terjadi.
5. Sektor
Organisasi dan Konsolidasi Internal
- KPK masih sering mengabaikan untuk menegakkan etik di internal. Data menunjukkan di era kepemimpinan Agus Rahardjo setidaknya ada 7 dugaan pelanggaran etik yang tidak jelas penanganannya.
- Penyerangan terhadap pegawai maupun Pimpinan KPK masih sering terjadi, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir setidaknya ada 19 ancaman ataupun kriminalisasi yang dialami oleh pegawai maupun Pimpinan KPK.
- Pimpinan KPK masih sering melontarkan pernyataan yang bersifat kontroversial, sehingga menurunkan citra lembaga antirasuah ini di mata publik.
Rekomendasi ICW
dan Transparancy Internasional Indonesia untuk KPK :
1. Sektor Penindakan
- KPK harus selalu menyertakan dakwaan TPPU terhadap pelaku korupsi yang diduga menyembunyikan atau meneruskan harta kekayaannya kepada pihak lain
- KPK harus lebih berani dalam menetapkan korporasi sebagai tersangka korupsi jika aliran dana dalam sebuah kasus korupsi turut menguntungkan korporasi
- KPK harus menuntut tinggi pelaku korupsi agar fungsi trigger mechanism bagi penegak hukum lain berjalan
- KPK harus membuat pedoman penuntutan agar menghindari potret disparitas tuntutan KPK harus selalu menuntut pencabutan hak politik jika terdakwa berasal dari lingkup politik atau politisi
- KPK harus memutuskan perkara-perkara masa lalu, agar tidak ada lagi tunggakan pada masa yang akan datang.
2. Sektor
Pencegahan
o
KPK perlu lebih maksimal menjalankan fungsi koordinasi
dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan termasuk koordinasi dan supervisi dalam
penindakan
o
KPK juga tetap perlu mendorong Kementerian/Lembaga
mengambil langkah perbaikan sistem dan birokrasi, terutama di tingkat
Pemerintah Daerah
o
KPK perlu mempertimbangkan diadopsinya pendekatan
perubahan perilaku (behavioral change) agar memperkuat strategi pencegahan
korupsi lebih tepat sasaran. Pendekatan perbaikan tata kelola perlu diperkuat
dengan pendekatan yang melihat perilaku manusia
o
KPK sebagai Ketua Tim Nasional Pencegahan Korupsi
perlu meningkatkan sosialisasi publik Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
o
Kebutuhan ini juga mendesak mengingat masih banyaknya
korupsi yang terjadi di Polri maupun Kejaksaan. KPK perlu membantu upaya
reformasi birokrasi di dua instansi tersebut. Mengingat keterbatasan sumber
daya manusia, dalam proses tindak lanjut aduan KPK juga perlu memaksimalkan
kerja sama lembaga-lembaga terkait seperti Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP), Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah
Agung, dan Komisi Yudisial
o KPK perlu melibatkan stakeholders dalam evaluasi
Rencana Strategis 2015-2019 dan perencanaan Rencana Strategis 2019-2023. Kerja
pemberantasan korupsi yang partisipatif perlu terus didorong oleh KPK.
o
KPK perlu membuka ruang yang lebih inklusif bagi
keterlibatan upaya pencegahan korupsi kelompok marjinal.
o
KPK perlu merancang upaya intervensi dan pemilahan
data bagi kelompok-kelompok marjinal, seperti kelompok penyandang disabilitas
dan kelompok masyarakat adat.
3. Sektor Alokasi
Anggaran
§ KPK bersama
Pemerintah dan DPR RI perlu melakukan kajian komprehensif mengenai proyeksi
peningkatan daya dukung anggaran KPK sebesar 0,10% dari total anggaran belanja
pemerintah.
§ KPK perlu lebih
maksimal melaksanakan fungsi-fungsinya dengan mengevaluasi secara serius
tingkat serapan anggaran dan peningkatan kualitas penyerapan anggaran itu
sendiri.
4. Sektor Sumber
Daya Manusia
v KPK perlu
menyiapkan cetak biru sumber daya manusia secara komprehensif merespon semakin
luasnya dimensi kejahatan korupsi dan penggunaan teknologi
v Di bidang
penindakan, KPK perlu fokus meningkatkan kemampuan manajerial dan perencanaan
untuk Kepala Satuan Tugas (Kasatgas), kemampuan administrasi perkara, kemampuan
penggunaan pasal TPPU, kemampuan deteksi korupsi yang memiliki dimensi
kejahatan transnasional, kemampuan penelusuran korupsi swasta, dan kemampuan
pemulihan aset.
v KPK perlu segera
menyelesaikan kisruh di Kedeputian Penindakan baik di tingkat vertikal
(deputi-penyidik) maupun horizontal (penyidik-penyidik). Pimpinan KPK perlu
secara tegas membongkar dugaan-dugaan penghambatan penanganan kasus secara
sengaja oleh Deputi Penindakan. Permasalahan ini akan menghambat proses
penanganan perkara jika tidak segera diselesaikan
v KPK perlu
mengkaji peluang dibentuknya struktur tingkat biro yang menjalankan fungsi
pengamanan pegawai. Pembentukan struktur di tingkat biro dirasa penting
mengingat risiko keamanan muncul meliputi keseluruhan pegawai KPK. Biro ini akan
fokus pada pembenahan sistem keamanan pegawai KPK secara menyeluruh melalui
upaya-upaya pemetaan dan analisa risiko, evaluasi petugas pengamanan, dan
perancangan standar operasional prosedur (SOP) yang fokus pada rekayasa
pencegahan kejahatan situasional.
5. Sektor
Organisasi dan Konsolidasi Internal
Ø Penegakan etik
di internal KPK harus tegas serta hasil pemeriksaan harus diungkap ke publik.
Ø KPK harus
merumuskan kebijakan yang memperketat keamanan bagi setiap insan pegawai KPK.
Ø Pimpinan KPK
harus membatasi pernyataan-pernyataan yang bersifat multitafsir.
2.5
Implementasi tindakan Korupsi dalam Pancasila
Sila pertama, Ketuhanan yang
Maha Esa. Sila ini mengajarkan agar semua rakyat Indonesia taat dalam beragama
sesuai dengan agama yang dianut. Dalam ajaran beragama tidak ada agama yang
mebenarkan umatnya untuk mencuri, serakah. Korupsi sama halnya dengan mencuri,
mencuri uang rakyat. Dan pastinya merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran
beragama.
Sila kedua, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Korupsi dikatakan melanggar sila kedua karena menyebabkan
kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, uang yang seharusnya digunakan untuk
kepentingan masyarakat umum digunakan untuk kepentingan pribadi oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mengakibatkan stratifikasi sosial yang
begitu tampak kehidupan bangsa ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Sila ketiga, Persatuan
Indonesia. Sebagai manusia Indonesia kita harus mampu menem-patkan persatuan,
kesatuan serta kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi melanggar nilai-nilai persatuan
yang sudah dimiliki bangsa ini sejak jaman peradaban kerajaan. Sebagai manusia
Indonesia yang memiliki amanah sudah menjadi kewajiban untuk menjalankan tugas
yang diberikan negara bukan mempermainkan tanggung jawab demi memperkaya
ataupun memperoleh kenikmatan tanpa memikirkan yang lain. Sekecil apapun
tindakan korupsi itu jika bukan mengedepankan kepentingan negara, akan ada
potensi perpecahan baik ditingkat lembaga, wilayah daerah maupun nasional.
Pemberantasan korupsi seharusnya adalah upaya tegas berbentuk persatuan
lembaga-lembaga penegak hukum, anggota masyarakat dan pemerintah.
Sila keempat berbunyi
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawa-ratan
Perwakilan. Dalam upaya pemberantasan korupsi ataupun penegakkan hukum atas
tindakannya keputusan yang diambil harus mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini Pancasila
mengajarkan seluruh bangsa Indonesia untuk memberikan kepercayaan kepada
wakil-wakil yang dipercayai untuk melakukan permusyawaratan artinya tidak perlu
dibutuhkan semua elemen bangsa ini dapat mengatasi masalah apapun dalam
menghadapi masalah nasional termasuk korupsi.
Sila kelima berbunyi
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kita tahu Indonesia adalah
Negara hukum. Semua perkara yang terjadi di Indonesia harus diputuskan secara
adil dan tidak memihak sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun realitanya
penegakan hukum di Indonesia belum seadil yang diharapkan. sebagai perbandingan
Kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan bocah 15 tahun berinisial AAL yang
mencuri sandal milik Brigadir (Pol) Satu, Ahmad Rusdi Harahap rasanya tak
sebanding dengan ancaman hukuman lima tahun penjara sementara banyak koruptor
yang dihukum hanya 1,5 tahun. Itu pun sewaktu di dalam jeruji besi pelaku
korupsi dalam menikmati penjara versi hotel bintang 5 yang dilengkapi dengan
fasilitas hotel bintang 5 seperti yang dirasakan oleh Artalyta Suryani yang
tersandung kasuspenyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
pada tahun 2008 silam.
2.6 Tahapan Kerja KPK
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi
menyatakan, ada serangkaian proses yang cukup panjang yang dilakukan sejumlah
unsur di KPK untuk masuk ke tahap penyidikan dan menetapkan seseorang menjadi
tersangka. Johan mengatakan, biasanya suatu kasus korupsi terungkap bermula
dari pengaduan masyarakat.
- Pengaduan masyarakat
- Melakukan penelitian dan pengumpulan keterangan. KPK melakukan ekspose atau gelar perkara untuk menentukan apakah kasus itu layak naik ke tahap penyelidikan.
- Penyelidik mulai mencari alat bukti hingga ditemukan lebih dari dua alat bukti. Bukti-bukti itu bisa berupa dokumen maupun keterangan sejumlah pihak.
- Penyelidik memanggil sejumlah pihak yang diduga berkaitan dan memiliki informasi terkait apa yang tengah diselidiki untuk dimintai keterangannya. Rapat ekspose kembali dilakukan untuk menentukan apakah status penyelidikan sudah cukup diubah menjadi penyidikan.
- Setelah menemukan dua alat bukti yang cukup maka naik ke penyidikan. Ini mulai ditentukan siapa tersangkanya.
- Dalam tahapan penyidikan ini, penyidik akan memanggil sejumlah saksi yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Saksi akan dikonfirmasi tentang beberapa hal mengenai informasi yang sejak awal dimiliki penyidik maupun informasi lain yang didapatkan penyidik dari saksi lain. Setelah itu, tersangka juga akan diperiksa untuk dikonfirmasi mengenai informasi berdasarkan keterangan para saksi tersebut.
Ketentuan untuk
menaikkan tahap penyelidikan menjadi penyidikan mengacu pada Pasal 44 UU Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
menyebutkan, "Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling
lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan permulaan yang cukup
tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK".
Adapun pada ayat (2) disebutkan, "Bukti permulaan
yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua
alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik
atau optik".
2.7 Pembahasan Revisi UU mengenai Korupsi
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) telah sah menjadi
Undang-Undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang
dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan dihadiri 102 anggota DPR RI
berdasarkan hitung kepala, Selasa (17/9/2019) pukul 12.18 WIB.
Sebelum dilakukan pengesahan, Ketua Badan
Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas lebih dulu membacakan laporan pembahasan
revisi UU KPK di Baleg. Ia menjelaskan tujuh fraksi menerima tanpa catatan
revisi UU: PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB,dan PAN.
Adapun dua fraksi yang tidak setuju itu adalah
PKS dan Gerindra. Kedua fraksi itu memberikan catatan terkait tak setujunya
keberadaan dewan pengawas yang dipilih langsung presiden tanpa adanya fit and
proper test. Sementara satu fraksi yakni Demokrat belum memberikan pendapatnya.
Diketahui revisi UU KPK ini mendapat penolakan
dari sejumlah pihak, termasuk pegiat antikorupsi dan KPK sendiri. Meski begitu,
revisi UU KPK ini jalan terus.
Bahkan Presiden Joko Widodo sudah menolak dan menyetujui
sejumlah poin dalam revisi UU KPK tersebut, termasuk soal dewan pengawas dan
SP3 yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu upaya pelemahan KPK.
Panitia kerja (Panja) DPR RI menyetujui tujuh
poin revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu di
antara tujuh poin revisi UU KPK yakni terkait pembentukan Dewan Pengawas
(Dewas).
Selain soal Dewas, Panja revisi UU KPK juga menyepakati
tentang pelaksanaan penyadapan. Kemudian panja juga menyetujui mengenai sistem
kepegawaian KPK.
Berikut tujuh poin Revisi UU KPK yang disepakati:
- Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, dalam pelaksanaannya kewenangan dan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
- Pembentukan Dewan Pengawas. Dalam hal ini, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas. Dewan ini berjumlah lima orang yang memegang jabatan selama 4 tahun. Lembaga non struktural ini memiliki tugas diantaranya memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, menetapkan kode etik bagi pimpinan dan pegawai KPK serta mengawasi KPK.
- Pelaksanaan Penyadapan. Dalam hal ini, penyadapan yang dilakukan oleh KPK bisa dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Selain itu, penyadapan dilakukan paling lama selama 6 bulan serta harus dilaporkan jika telah rampung kepada pimpinan KPK.
- Mekanisme penghentian penyidikan dan atau penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dalam hal ini, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK dan diumumkan kepada publik. Penghentian penyidikan dan penuntutan oleh KPK dapat dicabut kembali apabila ditemukan bukti baru atau berdasarkan putusan praperadilan.
- Koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya yang ada sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
- Mekanisme penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini, proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Sedangkan izin diberikan paling lama 1 x 24 jam oleh Dewan Pengawas.
- Sistem kepegawaian KPK. Dalam hal ini, pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.
Presiden Jokowi menyetujui sejumlah poin di revisi UU KPK, di
antaranya adalah soal penyadapan diawasi Dewan Pengawas. Jokowi sudah
menyetujui revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Namun demikian, ada empat poin
yang disampaikan Jokowi soal revisi tersebut. Berikut pernyataan sikap Jokowi
soal revisi UU KPK.
- Saya tidak setuju jika KPK harus meminta izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan, misalnya izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup meminta izin internal dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
- Saya tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN, dari pegawai KPK, maupun instansi lainnya, tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar.
- Saya juga tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan Kejagung dalam penuntutan. Karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.
- Saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini.
Pro dan Kontra Revisi Undang-Undang KPK
A.
Pro Revisi Undang-Undang KPK
KEPALA Kantor Staf Presiden Moeldoko menjelaskan perbedaan
sikap Presiden terhadap Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Presiden memutuskan
menunda pengesahan RUU KUHP, namun melanjutkan untuk mengesahkan RUU KPK.
Moeldoko menyebut, berdasarkan hasil survei, sebanyak 44,9% masyarakat ingin
agar UU KPK direvisi. Selain itu, revisi dilakukan dengan pertimbangan
keberadaan lembaga antirasuah itu bisa menghambat upaya investasi. Moeldoko
menampik revisi UU KPK bisa melemahkan lembaga antirasuah itu. Selain itu, kata
dia, pengawasan terhadap lembaga KPK pun dinilainya merupakan hal yang wajar.
Begitu pula terkait poin pengadaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dalam revisi UU KPK.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah juga menyatakan pandangan dan
analisisnya mengenai alasan Presiden Joko Widodo menyetujui untuk merevisi UU
Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Fahri menilai alasan tersebut karena Jokowi
menilai ada "gangguan" terhadap kerja-kerja Pemerintah. Menurut Fahri
Hamzah, dirinya tidak kaget dengan sikap Presiden Joko Widodo dan memiliki
analisis terkait alasan Presiden akhirnya berani mengambil keputusan menyetujui
revisi UU KPK.Kepala Staf Kepresidenan
Moeldoko menilai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menghambat investasi. Moeldoko lantas
mengkalim banyak pihak yang setuju atas revisi Undang-Undang KPK, khususnya
Pemerintah dan DPR RI.
Ada dua alasan lain, menurut Moeldoko, UU KPK direvisi.
Pertama, keberadaan Dewan Pengawas. Kedua, perlunya kewenangan penerbitan surat
penghentian penyidikan atau penuntutan perkara (SP3) karena ada sejumlah kasus
di KPK yang tersangkanya menjadi ‘korban’ dengan penanganan dan status
tersangka selama bertahun-tahun.
Moeldoko mencontohkan, kasus dugaan korupsi pengadaan 3 Quay
Container Crane (QCC) tahun anggaran 2010 di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo)
II dengan tersangka Richard Joost (RJ) Lino selaku Direktur Utama PT Pelindo
II. Status tersangka Lino diumumkan KPK pada Jumat, 18 Desember 2015 tapi
penyidikannya belum rampung sampai saat ini.
Dari berbagai berita media massa, penulis
merangkum penjelasan Moeldoko. Maksud Moeldoko, bukan KPK-nya yang menghambat
investasi. Tapi KPK yang bekerja berdasarkan UU lama (UU Nomor 30 Tahun 2002)
masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum sehingga berpotensi menghambat
investasi. Menurut dia, dengan UU baru KPK, maka akan memberikan beberapa
landasan bagi kepastian hukum termasuk bagi investor. Dengan sejumlah revisi
dalam UU KPK juga, maka KPK secara kelembagaan akan semakin kuat dan
kredibilitasnya terjaga. Lagi-lagi untuk memberi kepastian hukum bagi investor.
Ada beberapa rujukan Moeldoko tentang kepastian hukum bagi
investasi dan investor, sebagaimana tercantum dalam UU baru KPK. Di antaranya
adanya kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara
korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu
paling lama 2 tahun.
Fakta dari RUU KPK :
Presiden Joko Widodo klaim menolak sejumlah poin dalam draf
revisi undang undang KPK no. 30 tahun 2002.
Klaim:
- Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus mendapatkan izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan.
- Jokowi mengaku tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan
- Jokowi tidak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan
- Jokowi juga tidak setuju pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementrian/lembaga lain.
Fakta:
- Dalam draf revisi UU KPK, tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga koruptor. Dalam draf RUU KPK pasal 12 B ayat 1, Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf a, dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.
- Dalam pasal 45 draf RUU KPK, memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga penyidik pengawal negeri sipil yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang.
- Poin ini diatur dalam pasal 12 A draf RUU KPK. Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagimana dimaksu dalam pasal 6 huruf e, penuntut pada KPK melaksanakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan UU
- Poin ini juga memang diatur dalam pasal 7 ayat 1 huruf a draf RUU KPK, melaksanakan supervise dan koorinasi atas pelaksanaan pendaftaran dan pemeeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara oleh masing-masing instansi, kementerian, dan lembaga.
B.
Kontra Revisi Undang-Undang KPK
Dalam rancangan tersebut, salah satu
poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.
Dengan kata Belakangan ini, marak terdengar berita tentang melemahnya kekuasaan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Indonesia. Bermunculannya berita ini
disebabkan oleh disahkannya UU KPK yang dinilai berpotensi melemahkan
independensi lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Dalam rancangan tersebut, salah satu
poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.
Dengan kata lain, dengan disahkannya undang-undang ini, maka KPK telah resmi
menjadi lembaga pemerintah
KPK adalah lembaga negara yang mempunyai
sifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, serta
berkesinambungan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
berpedoman pada 5 asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK memiliki tanggung jawab kepada
publik dan KPK juga menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada
Presiden, DPR, dan BPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi
yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu. Juru Bicara KPK
Febri Diansyah mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK
lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
26 poin tersebut diantaranya:
1) Pelemahan Independensi KPK
KPK diletakkan sebagai lembaga negara di
rumpun eksekutif; Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun
tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman
dan lembaga yang bersifat constitutional important. Baca juga: Demo Mahasiwa
Tolak RKUHP dan UU KPK dalam Ulasan Media Internasional Pegawai KPK merupakan
ASN, sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan
mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.
2)
Bagian yang mengatur bahwa Pimpinan adalah
penanggungjawab tertinggi dihapus;
3)
Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK,
namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas, misal:
berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman
paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.
4) Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan
perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan
dan penyitaan. Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak mengizinkan? Siapa yang
mengawasi Dewan Pengawas?
5) Standar larangan Etik dan anti konflik Kepentingan untuk
Dewan Pengawas lebih Rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak
berlaku untuk Dewan Pengawas, sehingga: Dewan Pengawas tidak dilarang menjadi
komisaris, direksi, organ yayasan hingga jabatan profesi lainnya; Dewan
Pengawas tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada
hubungan dengan perkara yang ditangani KPK Sementara itu pihak yang diawasi
diwajibkan memiliki standar etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan
ancaman pidana di UU KPK
6) Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari
aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15
tahun.
7) Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum
sehingga akan beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan
tugas Penindakan;
8) Salah satu Pimpinan KPK pasca UU ini disahkan terancam
tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun); Terdapat
ketidakcermatan pengaturan untuk usia Pimpinan KPK minimal 50 tahun, padahal
keterangan dalam kurung tertulis “empat puluh” tahun (Pasal 29 huruf e); Alasan
UU tidak berlaku surut terhadap 5 Pimpinan yang terpilih tidak relevan, karena
Pasal 29 UU KPK mengatur syarat-syarat untuk dapat diangkat. Pengangkatan
Pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden. Jika sesuai jadwal maka pengangkatan
Pimpinan KPK oleh Presiden baru dilakukan sekitar 21 Desember 2019, hal itu
berarti UU Perubahan Kedua UU KPK ini sudah berlaku, termasuk syarat umur
minimal 50 tahun. Jika dipaksakan pengangkatan dilakukan, terdapat resiko
keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah. Baca juga: Isu Turunkan Jokowi
Dinilai Sengaja Ganggu Fokus Aksi Tuntut Pembatalan UU KPK dan RUU Lain
9)
Pemangkasan kewenangan Penyelidikan Penyelidik tidak lagi
dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke Luar Negeri. Hal ini beresiko
untuk kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku lebih mudah
kabur ke luar negeri saat Penyelidikan berjalan;
10) Pemangkasan kewenangan
Penyadapan. Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan di tahap Penuntutan dan jadi
lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Jika UU ini diberlakukan, ada 6 tahapan
yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu: Dari penyelidik yang menangani perkara
ke Kasatgas Dari Kasatgas ke Direktur Penyelidikan Dari Direktur Penyelidikan
ke Deputi Bidang Penindakan Dari Deputi Bidang Penindakan ke Pimpinan Dari
Pimpinan ke Dewan Pengawas Perlu dilakukan gelar perkara terlebih dahulu
Terdapat resiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu
pengajuan Penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan
kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
11) OTT menjadi lebih sulit
dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada
di UU KPK;
12) Terdapat Pasal yang
beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat
ini lagi, yaitu: Pasal 6 huruf a yang menyebutkan, KPK bertugas melakukan: a.
Tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi Hal
ini sering kita dengar diungkapkan oleh sejumlah politisi agar ketika KPK
mengetahui ada pihak-pihak yang akan menerima uang, maka sebaiknya KPK
“mencegah” dan memberitahukan pejabat tersebut agar tidak menerima suap. Baca juga:
Viral Video dan Narasi KPK Briefing Mahasiswa Demonstran, Ini Tanggapan KPK
13) Ada resiko kriminalisasi
terhadap pegawai KPK terkait Penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU
KPK Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara,
namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait, ruang lingkup perkara
dan juga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut; Ada ancaman
pidana terhadap pihak yang melakukan Penyadapan atau menyimpan hasil penyadapan
tersebut; Ancaman pidana diatur namun tidak jelas rumusan pasal pidananya. Baca
juga: Menelaah Sikap Jokowi, Mengapa Berbeda antara UU KPK dan RKUHP?
14) Ada risiko Penyidik PNS di
KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri karena Pasal 38 ayat
(2) UU KPK dihapus; Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang
melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani
kasus korupsi; Namun di sisi lain, jika Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada
resiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri;
15) Berkurangnya kewenangan
Penuntutan Pada Pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan Penuntutan. Hanya disebut
“dalam melaksanakan tugas Penyidikan”, padahal sejumlah kewenangan terkait
dengan perbuatan terhadap Terdakwa. Norma yang diatur tidak jelas dan saling
bertentangan. Di satu sisi mengatakan hanya untuk melaksanakan tugas
Penyidikan, tapi di sisi lain ada kewenangan perlakuan tertentu terhadap
Terdakwa yang sebenarnya hanya akan terjadi di Penuntutan; Baca juga: Ekonom
Sebut Revisi UU KPK Malah Bikin Investor Kabur
16) Dalam pelaksanaan
Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa
pihak terkait yang dimaksud.
17) Pegawai KPK rentan
dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18) Terdapat ketidakpastian
status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai
kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik
KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa
kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
19) Jangka waktu SP3 selama 2
tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan
bersifat lintas negara. Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi
besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan
perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara
yang besar. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP,
tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang
merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
20) Diubahnya Pasal 46 ayat
(2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak
berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan
penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk
memeriksa pejabat tertentu. Baca juga: Palmerah-Senayan, Pagi Setelah Demo
Mahasiswa di DPR... Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat
kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa
yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
21) Terdapat pertentangan
sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas
dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan
ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku
pada tanggal diundangkan.
22) Hilangnya posisi Penasehat
KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan
Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23) Hilangnya Kewenangan
Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11) Sesuai dengan putusan MK
nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai
trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu
KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang
diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang
proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum
yang meresahkan masyarakat.
24) KPK hanya berkedudukan di
Ibukota negara KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki
perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja
seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi
di seantero negeri.
25) Tidak ada penguatan dari
aspek Pencegahan Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap
Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur; Kendala
Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak
terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada
niatan serius memperkuat Kerja Pencegahan KPK;
26) Kewenangan KPK melakukan
Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada
lagi. Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik
akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.
Source : writemyessay4me.org |
BAB III
KESIMPULAN
Korupsi
adalah tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah
atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang
merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau
kelompok tertentu. Ada 2 faktor penyebab korupsi. Faktor internal merupakan
faktor penyebab korupsi yang terlahir dari dalam diri sendiri. Faktor eksternal
merupakan faktor penyebab korupsi yang datangnya dari luar. Ada 4 cara
memberantas korupsi yaitu kurikulum berbasis anti korupsi, festival anti
korupsi, mengoptimalkan system elektronik dan hukuman penjara, ganti rugi dan
penyitaan serta pemecatan. Terdapat evaluasi tindakan korupsi di Indonesia
menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) serta rekomendasinya diberbagai
sektor. Implementasi tindakan korupsi dalam Pancasila dari sila pertama hingga
sila ke lima. Ada 7 tahapan kerja KPK. Terdapat pembahasan revisi UU mengenai
Korupsi yang secara lengkap sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Guys... Jangan lupa masukan alamat web ini ya untuk pembelajaran bersama :)
Terima Kasih bagi yang sudah mau menulis alamat web ini...
Comments
Post a Comment